Sunday, May 3, 2015

Soal Mendung

Mendung adalah awan yang cemas
melihatmu memendam segala
yang tidak mampu ditampung kata-kata

Yang menurunkan hujan --dengan segala definisinya--
melewati lorong waktu mengetuk jendela itu
dia yang termangu
(mungkin sedang)
menunggu jauh

Friday, April 3, 2015

Jangan Terlalu Berharap (Pada Media)

“Kambing. Media-media sekarang tuh kaya t*i tau gak sih lo,” maki Emir kesal.

“Jadi kaya kambing apa kaya t*i nih,” sahut Amri menanggapi.

“Kaya t*i kambing juga boleh. Terserah lu,” timpal Emir lagi.

===

Kekesalan yang dialami Emir jamak kita lihat ketika Pemilihan Presiden lalu. Keberpihakan media kepada salah dua kandidat begitu kentara. Media A menampilkan sosok presiden yang satu sebagai figur lugu, jujur, dan menjanjikan. Sementara yang satu menampilkan presiden B sebagai sosok bengis, bagian dari orde otoriter dan sebagainya.

Masyarakat dibuat bingung akan hal itu. Mereka bertanya-tanya, bagaimana mendapatkan informasi yang benar sesungguhnya?

Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menengok salah satu pandangan yang terkenal dalam dunia teks, Paradigma Kritis.

Mengutip Eriyanto dalam buku Analisis Wacana, paradigma kritis bersumber dari pemikiran sekolah Frankfurt. Dalam paradigma ini, media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.

Paradigma kritis ini kemudian dikembangkan oleh seorang ahli bernama Stuart Hall. Lebih jauh, Hall merumuskan Paradigma Kritis secara lebih tajam. Menurutnya, media adalah pemeran utama dari pertarungan kekuasaan. Media memilih nilai-nilai dan apa yang seharusnya masyarakat terima atau inginkan.

Dalam praktek di lapangan, wartawan sebagai bagian dari lingkup yang lebih besar yakni media, yang diterjunkan untuk meliput suatu peristiwa, akan membangun kembali peristiwa itu dengan angle pemberitaan tertentu. Wartawan membangun suatu peristiwa utuh menjadi sebuah realitas.

Realitas dapat ditandakan secara berbeda pada perstiwa yang sama. Makna yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama.

Kesimpulannya, ketika masyarakat melihat suatu berita, itu adalah hasil rekonstruksi yang dibangun oleh sang wartawan yang meliput peristiwa tersebut.

Apakah tindakan wartawan melakukan rekonstruksi atas suatu peristiwa yang terjadi itu salah? Tidak juga. Sebab wartawan juga punya nilai yang dia pegang.

Ambil contoh begini, wartawan yang bersikap apolitis, akan menulis berita soal janji-janji para politisi dengan nada sinis dikarenakan oleh nilai politik t*i kucing yang dia pegang. Lain cerita jika si wartawan menganggap politisi ini punya sesuatu yang menjanjikan atau dia berpihak pada seorang politisi, kemungkinan besar –kalau tak mau ditulis pasti- berita soal politisi itu akan bernada positif atau istilahnya lebih kalemlah.

Lalu pertanyaan lainnya, masih adakah berita atau katakan media yang netral? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama adalah buang jauh-jauh kata netral karena yang ada adalah jujur dan adil.

Robert Scheer dari Los Angeles Times mengatakan, yang lebih penting bukan Apakah Anda bisa netral, tetapi bagaimana Anda (dalam hal ini wartawan) mengerjakan pekerjaan Anda dengan cara yang adil dan jujur.

Koran Washington Post bisa dijadikan acuan terkait sikap adil yaitu:
  • Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta-fakta yang penting. Jadi adil adalah lengkap.
  • Berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil adalah relevansi.
  • Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak, menggiring pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.
  • Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil menuntut keterusterangan.


Lantas kembali ke pertanyaan pertama, bagaimana cara masyarakat menentukan kebenaran suatu informasi? Bertrand Russell pernah berkata kepada mahasiswanya

“Lakukan pengamatan sendiri. Aristoteles dapat menghindari kekeliruan tentang perkiraannya bahwa wanita mempunyai jumlah gigi lebih sedikit dari pria, andai saja dia meminta istrinya membuka mulut dan menghitung sendiri. Menganggap kita tahu, padahal tidak, adalah kesalahan fatal yang cenderung kita lakukan,”

Ya, masyarakat dengan nilai-nilai yang mereka dapat, sebetulnya mampu menentukan dan memilah-milah informasi yang benar dan salah. Sebagai contoh, seorang pecandu sepak bola pasti tahu informasi yang menyebut Zlatan Ibrahimovic bermain di Persija Jakarta adalah salah.

Terlepas dari paparan di atas, ini adalah opini penulis, sebaiknya kita jangan terlalu berharap lebih kepada media. Karena koran sekaliber Washington Post dan Los Angeles Times pun penulis yakin masih melakukan pilih kasih dalam berita (soal terorisme misalnya, pihak mana yang sering disudutkan? Mengapa label terorisme hanya melekat pada pihak tertentu itu?).

Jadi sekali lagi, jangan terlalu berharap, karena berharap, apalagi terlalu itu sakit. Utamanya kalau soal cinta #eeh.

Daftar Pustaka
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Teks Media , Jakarta: LKIS
Ishwara,Luwi, 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas



Tuesday, March 24, 2015

Cerita Horor Kantor

Sebenernya ini udah sering dialami sama temen-temen yang lain, termasuk gue. Tetapi, ekskalasinya baru gue alami pas piket kemarin.

Senin dini hari, jam tiga pagi. Gue hanya berdua dengan temen gue yang kebagian kanal news. Kebetulan pas gue piket itu, lagi banyak pertandingan bola yang main. Alhasil, gue begadang deh (Biasanya gue bisa tidur di sela-sela jam piket).

Nah, pas gue lagi asik mantau match bola, tetiba ada suara bangku yang digoyang-goyang. Keras banget bunyinya. Bangku itu ada di kubikel lain yang gue pikir enggak jauh dari kubikel punya gue.

Gue yakin itu bukan temen gue karena temen gue lagi ambil wudhu di keran yang ada di balkon samping lantai empat, tempat gue kerja. Pas dia masuk, gue tanya lah dia.

"Lu denger gak bang? Ada suara bangku digoyang-goyang,"

Awalnya dia gak nyadar. Eh pas dia lagi ngobrol sama gue, itu bangku bunyi lagi. Gue sama dia langsung paham kalau itu kerjaannya penunggu kantor gue, khusunya penunggu lantai empat.

Sialnya, enggak lama setelah bunyi bangku itu, temen gue pulang. "Ada urusan," begitu kata dia. Alhasil, gue pun sendirian di lantai itu. Sebetulnya ada sih orang lagi, tapi dia anak copywriter yang jarak kubikelnya jauh banget dari kubikel gue. Jadi suara yang asalnya dari kubikel gue dia engga bisa denger jelas. Pun sebaliknya.

Selepas temen gue balik, gue ngerasa kaya terus diamatin. Gue lagi nonton tv, gue ngerasa ada sesuatu yang lagi jalan di belakang gue. Jelas gue parno, mata gue terus aja ngeliat ke bagian-bagian gelap yang ada di lantai itu. Tapi Alhamdulillah, itu mahluk enggak mutusin buat mejeng di depan gue.

By the way, kenapa gue bilang hal kaya gini lazim? Sebab kantor gue itu dulunya rumah zaman Belanda. Nah, kata temen gue yang punya kemampuan supranatural, itu mahluk nongkrongnya di toilet cewe. Sebab temen gue pernah diikutin dan dikasih liat.

"Dia (mahluk itu) cuma mau maen aja," kata temen gue, yang ngakunya pernah ngobrol sama itu mahluk.

Masih banyak cerita horor dari kantor gue ini. Yang ngalaminnya bukan gue melainkan temen-temen gue yang lain. Redaktur gue ngaku pernah liat Mr. P di salah satu bagian lantai empat.

Dari Dulu

tripadvisorcom
Dari dulu tuh gue pengin banget punya kamar dengan jendela. Di luar kamar, ada semacam taman kecil dengan pepohonan.

Nah di deket jendela itu gue taroh deh meja dengan deretan buku di atasnya plus laptop (kalau bisa macbook, aamiin :p) biar kalau gue buntu lagi nulis sesuatu, gue bisa lihat pemandangan di luar plus hirup udara segar dari sana.

Sekarang sih kamar gue udah ada jendelanya. Cuma enggak ada pemandangan hijau dan udara segar. Sebab jendela itu enggak langsung menghadap keluar melainkan masih berada di dalam rumah gue.

Situasi begitu tuh yang buat gue kadang merasa buntu cari inspirasi. Seriusan deh, udara segar plus pepohonan itu bisa nambah inspirasi loh. At least itu berlaku buat gue. 

Makanya, selain mengidamkan kamar yang seperti yang ada di foto, gue juga pengin ada taman di kota gue. Semacam Taman Suropati deh (its the best park in Jakarta IMHO) di mana lo bisa kumpul-kumpul hirup udara segar bareng temen lo. Gratis.


Terlepas dari kekurangan kamar gue sekarang, gue bersyukur sih punya kamar yang nyaman. Yang perlu ditambah ya jendela yang menghadap langsung keluar. Hehehe. Plus taman kota yang nyaman.

The Beginning (Again)

Gila, udah lama banget gue gak ngepost di sini. Hahaha. Postingan terakhir gue di blog ini itu pada Februari 2014. Itu artinya, udah satu tahun lebih sebulan, gue gak mejeng di blog gue yang satu ini.

Gak tahu mulai kapan, gue emang lebih sibuk mejeng di blog gue yang satunya lagi di ruangpenapay.tumblr.com. Penyebabnya, di tumblr itu interface plus desainnya lebih simpel. Ditambah, gue emang memfokuskan blog tumblr itu untuk muat tulisan-tulisan gue yang berkaitan dengan sepak bola. Kalau di blog yang ini, lebih ke seninya: puisi, cerpen, photosopan dll.

Nah, belakangan, gue agak gak eksis atau gak mood bikin puisi atau semacamnya. Kalau pun bikin, paling gue post di path. Karena di situ banyak yang lihat, ketimbang gue harus tag link blog ini ke path gue. Yaudah deh, makin jadi ini blog gue tinggal. Lagian gue ngerasa belum terlalu berbakat untuk soal puisi dan semacamnya. 

Dulu sih emang sering bikin karena sumbernya kegalauan gue. Wakakakak. Kalau sekarang sih karena udah jarang galau (sori, apaan tuh galau, gak pernah kenal :p) jadi jarang bikin puisi. Palingan gombalan-gombalan enteng yang kayaknya terlalu simpel kalau buat dimasukan ke blog.

Sekarang, gue coba deh untuk aktifin lagi blog gue yang ini. Sebisa gue deh, gue bakal isi sama puisi-puisi atau cerpen, or segala unek-unek gue kecuali soal sepak bola, karena kan kalau bola udah ada blog yang di tumblr.

Gue coba mulai dari desainnya ya. Gue pengin yang simpel aja. Kaya tumblr gue;Judul, artikel, udah. Enggak pakai embel-embel desain yang ribet. Soalnya kan nanti jadi lemot.

So... Lets start it!!



Wednesday, February 12, 2014

Kemantapan Visi

Well well well, sebetulnya agak malu juga mau nulis ini, soalnya kalo judul artikel ini dibanding sama kehidupan nyata gue, masih jauh lah. Gue masih dibilang, kalau kata orang Jawa, belum dadi wong, gue masih rookie jadi wartawan hehehe. Belum jadi man on suit and tie alias sukses dan mapan. Tetapi gak ada salahnya lah ya, kalo gue mengamalkan kalimat Cogito Ergosum punya Rene Descartes.

Bermula dari chat di facebook, Senin (10/2/2014) malam, ketika seorang teman menanyakan alasan gue masuk UI. Gue bilang, ketika gue SD, jaman 98, gue liat si Rico Marbun, ketua BEM UI ketika itu diwawancara Liputan 6 soal demonstrasi besar-besaran untuk menurunkan Soeharto dari kursi presiden. Ketika itu, gue ngebatin, keren lah ya kalau gue nanti bisa masuk UI. Temen gue, yang chat di facebook tadi bilang, keren lah ya lo udah punya hmm mimpi masuk UI pas itu, kalau gue masih ngawang pas itu. Ah biasa aja kok kata gue.

Bukan memuji diri sendiri. Sumfeeh. Tapi gue mikir, iya juga ya, visi gue untuk masuk UI sejak SD gue itu lah yang secara tidak sadar, mendrive diri gue hingga akhirnya bisa masuk UI pada 2008. Ketika pemilihan rektor UI tahun 2005, if i'm not mistaken, gue juga ngebatin, ini orang yang akan jadi rektor gue nanti. Deng, jadi dah kenyataan, si Gumilar Rusliwa Sumantri jadi rektor gue.

Kesimpulannya, kita emang harus punya visi yang bisa mendrive diri kita agar our dream comes true. Sama satu lagi, fokus. Nyokap gue selalu cerita, kalo gue ditanya, "Aa mau masuk mana kuliahnya? Gue selalu bilang, "UI UI UI," Jadi dah gue jadi bagian dari keluarga besar Yellow Jacket dan dengan bangga mengatakan, gue alumnus UI.

Meskipun sekarang, gue belum jadi apa-apa, tapi gue bersyukur, setidaknya sekali dalam hidup gue, gue pernah punya keinginan dan mimpi yang udah gue wujudkan.

Sekarang gue tinggal mewujudkan mimpi gue yang lain. Doain gue, hahaha. Anyway, apa visi dan mimpi kalian? Mari kite wujudin bareng. Nyok ah. :)

Thursday, November 28, 2013

Puisi nemu di Youtube

Yang mencintai keindahan gunung-gunung yang mencintai kebebasan dan keleluasaan yang mencintai udara segar yang mencintai bumi mereka pergi ke puncak gunung-gunung mereka tengadah dan berkata di sanalah SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS pergi ke pangkuan bintang-bintang sementara bunga-bunga di negeri ini tersebar sekali lagi sementara sapu tangan menahan tangis sementara desember menebar gerimis