1 Januari 2012
Suratku Kepada Ibu
Kepada Ibu
Di Desa
Bu, bagaimana kabarmu di desa? Kuharap kau baik-baik saja disana, bagaimana tentang padi kita bu? Apakah padi-padi kita masih akan menguning tahun depan? Kuharap begitu, aku ingin saat aku pulang ke desa nanti padi kita sudah panen dan tak ada lagi hama atau banjir yang datang. Bu, kabarku baik disini. Pak Jihan dan keluarganya memperlakukanku dengan baik disini, meskipun aku hanya seorang supir. Bu, aku cukup beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Meskipun ini tidak sesuai dengan gelar yang menempel di namaku RIZALDI S.T (Sarjana Teknik), tapi aku bersyukur karena mencari pekerjaan di kota itu ternyata sulitnya bukan main Bu. Aku ingat temanku Toni, dia lulus sarjana ilmu politik namun sampai sekarang dia belum mendapat pekerjaan. Dia berkata kepadaku seperti ini bu “Zal aku tidak akan bekerja di institusi politik manapun sampai politik di negeri ini bersih dari korupsi”. Sekarang Toni sudah meninggal bu, tanpa memperoleh pekerjaan. Kadang aku kasihan dengan Toni, sepertinya mimpinya terlalu mustahil untuk terwujud. Politik yang bersih.
Bu, aku ingin bercerita tentang keluarga tempatku bekerja sekarang. keluarga pak Jihan, beliau mempunyai seorang istri dan dua orang anak, rumahnya cukup besar Bu, cukup untuk memasukkan sapi-sapi kita. Beliau bekerja di sebuah perusahaan sebagai direktur, sedangkan istrinya hanya bekerja di rumah. Bu, aku mempunyai impian kelak nanti aku ingin mempunyai keluarga seperti keluarga pak Jihan. Oh iya? Bagaimana kabar Rani disana? Apakah dia masih setia menungguku Bu? Kuharap begitu. Bu, ada yang tidak aku sukai dari keluarga ini yang membuat aku membatalkan mimpiku. Bukan soal mereka memperlakukanku, ataupun yang lain seperti pembayaran gaji ku melainkan soal suasananya Bu. Disini sungguh berbeda. Aku ingat selepas sore menjelang magrib kita selalu berbagi cerita bersama bapak tentunya, aku ingat ibu selalu bertanya tentang hari-hariku disekolah, aku ingat ibu dan bapak menemani ku belajar dengan lilin yang menjadi penerang rumah kita. Di keluarga Pak Jihan sungguh berbeda bu. Tak ada tegur sapa diantara mereka bu, mungkin ada namun aku jarang sekali melihatnya. Saat magrib misalnya bu, Pak Jihan sibuk dengan pekerjaannya sedangkan istri dan anak-anaknya sibuk menonton tv dan bermain hp. Tidak pernah kulihat Pak Jihan menyuruh anak mereka belajar, rasanya miris Bu, aku berpikir sepertinya mereka sudah gila teknologi, aku merasa kasihan dengan anak-anak Pak Jihan. aku jadi berpikir betapa beruntungnya aku dulu, saat televisi hanya menjadi pajangan di rumah kita saat maghrib dan hanya menyala ketika acara berita yang Bapak Suka. Saat Bapak marah ketika aku menyalakan televisi selepas magrib dan tidak belajar. Saat kita menerima telpon tentang kabar meninggalnya Bapak ketika bekerja di kota.
Bu, kalau saja mencari pekerjaan itu mudah, aku pasti sudah meninggalkan pekejaanku yang sekarang ini. Selain karena suasanannya, sebagai mahasiswa aku ingin pekerjaan yang lebih baik Bu, naluriku sebagai mahasiswa dan seorang laki-laki seperti memaksaku untuk meninggalkan pekerjaanku sekarang. Bu, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku. Kemarin aku sudah katakan itu ke Pak Jihan. Dia tidak terkejut Bu, dia berkata kepadaku semoga aku bisa menemukan pekerjaan yang sesuai dengan hatiku. Bu, doakan anakmu ini, maaf aku baru memberi kabar setelah sekian lama. Hp ku dicuri orang bu, catatan nomor telpon ibu pun hilang bersama hp ku. Sekarang aku tinggal bersama Raya bu, di sebuah kontrakkan kecil. Aku beruntung bertemu dengannya sewaktu aku hendak pergi ke kantor polisi mengurus hp dan tas ku yang hilang. Raya adalah temanku semasa kuliah dulu. Raya adalah seorang yang ulet bu, dia tidak mau bergantung kepada nasib dan pemerintah yang menurutnya sudah kacau. Dia berkata kepadaku bu
“Zal kalau kau hanya terus mencari pekerjaan hari ke hari, kemungkinan kau akan gila karena sulitnya mencari pekerjaan. Kau lihatlah aku, aku sekarang, aku sudah punya usahaku sendiri, meskipun kecil tapi aku bangga karena aku bukanlah orang yang bergantung pada orang lain. Zal ingat kata-kataku; kita ini sarjana, MANTAN MAHASISWA, yang pintar yang di didik untuk peka terhadap sekitar. PANTANG BAGI KITA MENYERAHKAN NASIB KEPADA PEMERINTAH YANG SUDAH RUSAK DAN HANCUR INI”.
Raya sangat bersemangat ketika mengucapkan kata-kata itu. Maklum Bu, Raya adalah seorang mantan tukang demo sejati. Di mana ada demo dia selalu hadir dan berada di garda paling depan.
Sekarang dia membuka usaha bengkel dan aku membantunya bekerja sambil tetap setia mengirimkan surat lamaran kerjaku. Bu, aku mohon doamu sekali lagi bu, karena aku tahu doamu adalah jembatanku menuju kesuksesan.
Dari Anakmu Tercinta
Rizaldi S.T