Monday, January 23, 2012

Surat Kepada Ibu (sebuah surat atau cerita tak taulah)


1 Januari 2012

Suratku Kepada Ibu                            

Kepada Ibu 

Di Desa

Bu, bagaimana kabarmu di desa? Kuharap kau baik-baik saja disana, bagaimana tentang padi kita bu?  Apakah padi-padi kita masih akan menguning tahun depan? Kuharap begitu, aku ingin saat aku pulang ke desa nanti padi kita sudah panen dan tak ada lagi hama atau banjir yang datang. Bu, kabarku baik disini. Pak Jihan dan keluarganya memperlakukanku dengan baik disini, meskipun aku hanya seorang supir. Bu, aku cukup beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Meskipun ini tidak sesuai dengan gelar yang menempel di namaku RIZALDI S.T (Sarjana Teknik), tapi aku bersyukur karena mencari pekerjaan di kota itu ternyata sulitnya bukan main Bu. Aku ingat temanku Toni, dia lulus sarjana ilmu politik namun sampai sekarang dia belum mendapat pekerjaan. Dia berkata kepadaku seperti ini bu “Zal aku tidak akan bekerja di institusi politik manapun sampai politik di negeri ini bersih dari korupsi”. Sekarang Toni sudah meninggal bu, tanpa memperoleh pekerjaan. Kadang aku kasihan dengan Toni, sepertinya mimpinya terlalu mustahil untuk terwujud. Politik yang bersih.

 Bu, aku ingin bercerita tentang keluarga tempatku bekerja sekarang. keluarga pak Jihan, beliau mempunyai seorang istri dan dua orang anak, rumahnya cukup besar Bu, cukup untuk memasukkan sapi-sapi kita. Beliau bekerja di sebuah perusahaan sebagai direktur, sedangkan istrinya hanya bekerja di rumah. Bu, aku mempunyai impian kelak nanti aku ingin mempunyai keluarga seperti keluarga pak Jihan. Oh iya? Bagaimana kabar Rani disana? Apakah dia masih setia menungguku Bu? Kuharap begitu. Bu, ada yang tidak aku sukai dari keluarga ini yang membuat aku membatalkan mimpiku. Bukan soal mereka memperlakukanku, ataupun yang lain seperti pembayaran gaji ku melainkan soal suasananya Bu. Disini sungguh berbeda. Aku ingat selepas sore menjelang magrib kita selalu berbagi cerita bersama bapak tentunya, aku ingat ibu selalu bertanya tentang hari-hariku disekolah, aku ingat ibu dan bapak menemani ku belajar dengan lilin yang menjadi penerang rumah kita. Di keluarga Pak Jihan sungguh berbeda bu. Tak ada tegur sapa diantara mereka bu, mungkin ada namun aku jarang sekali melihatnya. Saat magrib misalnya bu, Pak Jihan sibuk dengan pekerjaannya sedangkan istri dan anak-anaknya sibuk menonton tv dan bermain hp. Tidak pernah kulihat Pak Jihan menyuruh anak mereka belajar, rasanya miris Bu, aku berpikir sepertinya mereka sudah gila teknologi,  aku merasa kasihan dengan anak-anak Pak Jihan. aku jadi berpikir betapa beruntungnya aku dulu, saat televisi hanya menjadi pajangan di rumah kita saat maghrib dan hanya menyala ketika acara berita yang Bapak Suka. Saat Bapak marah ketika aku menyalakan televisi selepas magrib dan tidak belajar. Saat kita menerima telpon  tentang kabar meninggalnya Bapak ketika bekerja di kota.

Bu, kalau saja mencari pekerjaan itu mudah, aku pasti sudah meninggalkan pekejaanku yang sekarang ini. Selain karena suasanannya, sebagai mahasiswa aku ingin pekerjaan yang lebih baik Bu, naluriku sebagai mahasiswa dan seorang laki-laki seperti memaksaku untuk meninggalkan pekerjaanku sekarang. Bu, akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku. Kemarin aku sudah katakan itu ke Pak Jihan. Dia tidak terkejut Bu, dia berkata kepadaku semoga aku bisa menemukan pekerjaan yang sesuai dengan hatiku. Bu, doakan anakmu ini, maaf aku baru memberi kabar setelah sekian lama. Hp ku dicuri orang bu, catatan nomor telpon ibu pun hilang bersama hp ku. Sekarang aku tinggal bersama Raya bu, di sebuah kontrakkan kecil.  Aku beruntung bertemu dengannya sewaktu aku hendak pergi ke kantor polisi mengurus hp dan tas ku yang hilang. Raya adalah temanku semasa kuliah dulu. Raya adalah seorang yang ulet bu, dia tidak mau bergantung kepada nasib dan pemerintah yang menurutnya sudah kacau. Dia berkata kepadaku bu
“Zal kalau kau hanya terus mencari pekerjaan hari ke hari, kemungkinan kau akan gila karena sulitnya mencari pekerjaan. Kau lihatlah aku, aku sekarang, aku sudah punya usahaku sendiri, meskipun kecil tapi aku bangga karena aku bukanlah orang yang bergantung pada orang lain. Zal ingat kata-kataku; kita ini sarjana, MANTAN MAHASISWA, yang pintar yang di didik untuk peka terhadap sekitar. PANTANG BAGI KITA MENYERAHKAN NASIB KEPADA PEMERINTAH YANG SUDAH RUSAK DAN HANCUR INI”.

Raya sangat bersemangat ketika mengucapkan kata-kata itu. Maklum Bu, Raya adalah seorang mantan tukang demo sejati. Di mana ada demo dia selalu hadir dan berada di garda paling depan.
Sekarang dia membuka usaha bengkel dan aku membantunya bekerja sambil tetap setia mengirimkan surat lamaran kerjaku. Bu, aku mohon doamu sekali lagi bu, karena aku tahu doamu adalah jembatanku menuju kesuksesan.
Dari Anakmu Tercinta



Rizaldi S.T

Monday, January 2, 2012

Tentang Mimpi, Wanita, dan Mahasiswa

Kira-kira lima bulan yang lalu aku mengenalnya di depan beranda kampus ketika aku menghadiri (sebetulnya lebih tepat bila dikatakan kebetulan mendengar apa yang dia katakan, karena jujur aku sama sekali tidak berminat untuk menghadiri kajian tersebut) sebuah kajian yang memang rutin diadakan di beranda kampus kami, perawakannya sangat sederhana dengan celana panjang hitam (ah… tidak -tidak celana jeans maksudku) dan kemeja kotak-kotak berwarna pastel. Cara berbicaranya yang pelan namun sangat jelas membuat siapapun yang berbicara dengannya akan merasa segan untuk menyela atau memotong apa yang dia bicarakan karena dia pun tidak pernah memotong pembicaraan orang lain. Mendengarkan adalah kunci pengetahuan, begitu dia berkata dalam kajian tersebut. Entah mengapa ketika dia berkata seperti itu, aku merasa sangat tersentil (karena memang aku bukan pendengar yang baik) namun aku menyadari apa yang dia katakan itu benar. 

Setelah lama tak bertemu dengannya, kami pun ternyata ditakdirkan untuk menjadi teman (karena belakangan aku tahu kalau kami satu organisasi). Suatu ketika kami terlibat obrolan hangat (sehangat teh manis dan kue-kue yang kami makan saat itu, mungkin) obrolan tentang mimpi (maklum anak muda), tentang wanita (ini yang paling seru dan bikin galau) dan tentang kondisi kami sebagai mahasiswa (bisa kalian tebak tentang apakah itu?). Karena penasaran,aku bertanya lebih dulu. Tentang mimpi dia berkata bahwa dia ingin menjadi seorang bapak bagi anak-anaknya, bapak yang membimbing keluarganya ke surga (Amiiin).
 Lantas tentang pekerjaan? Tanyaku
“Aku ingin berdagang, seperti Rasul, namun rencana Allah tetap yang terbaik. jawabnya” (sangat agamis, setidaknya begitu menurutku)
“Bagaimana dengan dirimu?” tanyanya kepadaku
“Aku ingin berbakti kepada negaraku” (muluk bukan? Ya tapi itu lah mimpi yang kadang ujungnya hanya menjadi utopia).

Tentang wanita (ini yang paling kutunggu) kami saling bertukar tentang sosok yang kami idam-idamkan (sebagai anak muda, ya lagi-lagi sebagai anak muda tentu kami punya wanita idaman kami). Namun aku terkejut melihatnya yang membuka tas dan memberikanku sebuah puisi.
Tentang wanita bukan? Kau baca puisi ini, pintanya kepadaku. kira-kira seperti ini lah wanita idamanku Tanpa basa-basi aku baca puisi itu (sebentar, kalian tentu ingin membacanya juga bukan? Yasudah aku tuliskan  puisinya untuk kalian)

Kepada Edelweiss di Lembah Gunung
Kepada Edelweiss di Lembah Gunung yang tubuhnya tertutup kabut
Tempat nantinya aku bercerita tentang mereka yang hidup
Di rendahnya dataran kota
Tentang mereka yang lelah mencari makna kehidupan

Kepada Edelweiss di Lembah Gunung yang bunganya putih
Di Lembah perisitirahatan
Setelah lelah mendaki gunung kesiapan
Yang telah disiapkan Allah
Demi mulianya dirimu

Kepada Edelweiss di Lembah Gunung
Menjaga kelestarianmu adalah tugasku
Memandumu ke surga Illahi adalah amanah bagiku

Kepada Edelweiss yang semakin langka di Lembah Gunung
Kuharap bertemu denganmu
Suatu saat nanti
Saat telah habis kaki gunung kudaki


 (Ya itulah puisinya, bagaimana menurut kalian?) Tak lama setelah kubaca bait terakhir puisinya, dia pun bertanya kepadaku tentang sosok wanita yang aku impikan (tak kusangka dia punya rasa penasaran juga) aku tak akan kalah, aku pun punya puisi tentang wanita yang kuimpikan (bisa kalian simpulkan dari dialog kami bahwa wanita terkadang menjadi sumber inspirasi) ini puisiku kuharap kalian pun sudi membacanya

Nada Balerina Raihani
Nada
Seperti musik yang selalu kudengar
Yang selalu setia menemani
Menenangkanku dikala emosi meninggi
Menghentakku dikala aku terlalu lambat
membaca kehidupan yang terkadang
berlari lebih cepat
dan tak bisa kukejar

Balerina
Seperti mereka yang menari di atas sepatu balet
Melenturkan tubuhku yang terkadang terlalu kaku
menghadapi terjangan angin kehidupan
Meneguhkanku dikala aku limbung
dihantam badai ketidakpastian

Raihani
Seperti mereka yang tertawa dalam surga
Menjadi secercah cahaya untukku
yang akan tua dan mati di bumi
Menjadi terang di kala lampu-lampu kehidupan mulai padam
dan membawaku kepada gelap malam



Terakhir tentang kami sebagai mahasiswa (seperti ku katakan di awal bagian ini biar kalian yang menebak sendiri, dan jika kalian menebak ini soal masalah akademik dan keuangan kalian benar hahaha)
Tentang ini dia agak malu-malu menceritakannya. Padahal aku tahu nilainya cukup bagus. Kudengar kabar dia akan mencalonkan diri menjadi mahasiswa berprestasi. Jadi soal akademik nampaknya hanya aku yang mengalaminya, hahaha nilai ku tak terlalu tinggi karena memang tujuanku hanya untuk lulus (agak kontradiktif dengan mimpiku jika kalian membacanya tadi) dan memang harus kuakui aku bukan anak yang pintar namun aku tetap berusaha sungguh-sungguh. Aku ingat kalimat dari novel yang pernah kubaca (kupikir kalian pasti tahu judul novel ini) begini bunyi kalimatnya
Man Jadda wa Jadda
Man Shabara Zhafira

Soal keuangan ini yang agak sensitif, aku dan temanku ini sepakat bahwa kami akhirnya tiba di satu kesimpulan. Kampus kami mahal biaya kuliahnya. Rasanya ingin ku ganti moto kampusku menjadi “Mau pintar kok mahal?” (tapi sayang sudah jadi selogan iklan). Itu saja, lainnya yah lazimnya anak kos terkadang kami kesulitan keuangan. Namun pekerjaan tambahan yang kami dapatkan cukup untuk menambal kekurangan tersebut. Kami sepakat bahwa kami sebagai mahasiswa tak boleh menjadi seonggok jagung yang busuk di sudut gudang.

Apa guna pendidikan
Bila terpisah dari derita lingkungan?
(W.S Rendra- Sajak Seonggok Jagung-)

Terima kasih