“Kambing. Media-media sekarang tuh kaya t*i tau gak sih
lo,” maki Emir kesal.
“Jadi
kaya kambing apa kaya t*i nih,” sahut Amri menanggapi.
“Kaya
t*i kambing juga boleh. Terserah lu,” timpal Emir lagi.
===
Kekesalan yang dialami Emir
jamak kita lihat ketika Pemilihan Presiden lalu. Keberpihakan media kepada
salah dua kandidat begitu kentara. Media A menampilkan sosok presiden yang satu
sebagai figur lugu, jujur, dan menjanjikan. Sementara yang satu menampilkan
presiden B sebagai sosok bengis, bagian dari orde otoriter dan sebagainya.
Masyarakat dibuat bingung akan hal itu. Mereka bertanya-tanya, bagaimana mendapatkan informasi yang benar sesungguhnya?
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita menengok salah satu
pandangan yang terkenal dalam dunia teks, Paradigma Kritis.
Mengutip Eriyanto dalam buku Analisis Wacana, paradigma kritis
bersumber dari pemikiran sekolah Frankfurt. Dalam paradigma ini, media bukanlah
entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.
Paradigma kritis ini kemudian
dikembangkan oleh seorang ahli bernama Stuart Hall. Lebih jauh, Hall merumuskan
Paradigma Kritis secara lebih tajam. Menurutnya, media adalah pemeran utama
dari pertarungan kekuasaan. Media memilih nilai-nilai dan apa yang seharusnya
masyarakat terima atau inginkan.
Dalam praktek di lapangan,
wartawan sebagai bagian dari lingkup yang lebih besar yakni media, yang
diterjunkan untuk meliput suatu peristiwa, akan membangun kembali peristiwa itu
dengan angle pemberitaan tertentu.
Wartawan membangun suatu peristiwa utuh menjadi sebuah realitas.
Realitas dapat ditandakan secara berbeda pada perstiwa yang sama. Makna
yang berbeda dapat dilekatkan pada peristiwa yang sama.
Kesimpulannya, ketika masyarakat melihat suatu berita, itu adalah hasil
rekonstruksi yang dibangun oleh sang wartawan yang meliput peristiwa tersebut.
Apakah tindakan wartawan melakukan rekonstruksi atas
suatu peristiwa yang terjadi itu salah? Tidak
juga. Sebab wartawan juga punya nilai yang dia pegang.
Ambil contoh begini, wartawan yang bersikap apolitis, akan menulis berita
soal janji-janji para politisi dengan nada sinis dikarenakan oleh nilai politik
t*i kucing yang dia pegang. Lain cerita jika si wartawan menganggap politisi
ini punya sesuatu yang menjanjikan atau dia berpihak pada seorang politisi,
kemungkinan besar –kalau tak mau ditulis pasti- berita soal politisi itu akan
bernada positif atau istilahnya lebih kalemlah.
Lalu pertanyaan lainnya, masih adakah berita atau katakan
media yang netral? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama adalah buang
jauh-jauh kata netral karena yang ada adalah jujur dan adil.
Robert Scheer dari Los Angeles Times mengatakan, yang lebih penting bukan
Apakah Anda bisa netral, tetapi bagaimana Anda (dalam hal ini wartawan)
mengerjakan pekerjaan Anda dengan cara yang adil dan jujur.
Koran Washington Post bisa
dijadikan acuan terkait sikap adil yaitu:
- Berita itu tidak adil bila mengabaikan fakta-fakta yang penting. Jadi adil adalah lengkap.
- Berita itu tidak adil bila dimasukkan informasi yang tidak relevan. Jadi adil adalah relevansi.
- Berita itu tidak adil bila secara sadar maupun tidak, menggiring pembaca ke arah yang salah atau menipu. Jadi adil adalah jujur.
- Berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang merendahkan. Jadi adil menuntut keterusterangan.
Lantas
kembali ke pertanyaan pertama, bagaimana cara masyarakat menentukan kebenaran
suatu informasi?
Bertrand Russell pernah berkata kepada mahasiswanya
“Lakukan pengamatan sendiri.
Aristoteles dapat menghindari kekeliruan tentang perkiraannya bahwa wanita
mempunyai jumlah gigi lebih sedikit dari pria, andai saja dia meminta istrinya
membuka mulut dan menghitung sendiri. Menganggap kita tahu, padahal tidak,
adalah kesalahan fatal yang cenderung kita lakukan,”
Ya, masyarakat dengan nilai-nilai yang mereka dapat, sebetulnya mampu menentukan dan
memilah-milah informasi yang benar dan salah. Sebagai contoh, seorang pecandu
sepak bola pasti tahu informasi yang menyebut Zlatan Ibrahimovic bermain di
Persija Jakarta adalah salah.
Terlepas dari paparan di
atas, ini adalah opini penulis, sebaiknya kita jangan terlalu berharap lebih
kepada media. Karena koran sekaliber Washington Post dan Los Angeles Times pun
penulis yakin masih melakukan pilih kasih dalam berita (soal terorisme
misalnya, pihak mana yang sering disudutkan? Mengapa label terorisme hanya
melekat pada pihak tertentu itu?).
Jadi sekali lagi, jangan
terlalu berharap, karena berharap, apalagi terlalu itu sakit. Utamanya kalau
soal cinta #eeh.
Daftar Pustaka
Eriyanto. 2001. Analisis
Wacana, Pengantar Teks Media , Jakarta: LKIS
Ishwara,Luwi, 2011. Jurnalisme
Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas