Wednesday, June 20, 2012

Ngalor Ngidul (catatan pinggir-pinggir banget, ampe gak keliatan)


Oke kita mulai, beberapa hari yang lalu gue dan teman-teman memutuskan untuk naik ke Gunung Gede dan Alhamdulillah yang ini gak sekedar omdo, tanggal 15 Juni 2012 kita naek, banyak pengalaman seru yang kayaknya ga bakal didapetin di kota Jakarta sampai pada tanggal 17 Juni 2012 akhirnya kita turun ke Cibodas, mulai dari situ sinyal hape mulai ada dan seperti biasa langsung buka twitter untuk liat ada yang nyariiin ga ya? (ngarep). Tapi jauh panggang dari api (tsaaah) yang gue liat malah berita kalo tetangga sebelah (baca: Malaysia) lagi-lagi mengklaim salah satu kebudayaan kita yaitu Tari Tor-Tor (jujur gue hanya punya info sangat-sangat sedikit mengenai tari ini, atau bahkan bisa dibilang ga punya). Dari sekian banyak tweet, rata-rata memunculkan info tentang Tari ini, darimana dia berasal, udah berapa lama, gimana gerakannya dll. Ada juga yang mencaci Malaysia (haaah Indonesia-indonesia), ada juga yang netral dan mengklarifikasi berita yang bener kayak gimana (cek tweet nat geo Indonesia @NGIndonesia). Ada lagi yang bilang kalo itu akal-akalan media kita dari terjemahan kata “acknowledge” yang diterjemahkan menjadi “mengklaim” (haduuuuh media-media, sungguh terlalu kalo bener mah). Abis cek tweet tentang tari tor-tor, pikiran gue mulai menuju ke tiga arah.

Pertama Malaysia yang gak ada habisnya mengklaim (mungkin mengklaim ya, ga tau juga sih) budaya kita dan kita juga yang gak habis-habis mencak-mencak kalo budayanya diambil orang (kemaren kemana aja mas dan mba). Dua kata, Capek deeh !!! menurut opini mahasiswa sotoy ini. Hal kayak gini terjadi karena kita menganggap budaya kita itu terberi, bukan komoditi yang bisa mendatangkan keuntungan. Karena terberi itulah kita jadi leha-leha sama budaya kita sendiri. Udah sifat manusia kalo lagi punya bodo amat, kalo udah ilang baru sadar. Dan kejadian deh sama budaya kita. Gue ulangin sekali lagi ya, jujur gue ga tau sebelum ada berita ini, ada yang namanya Tari Tor-Tor. Jadi ironis kan, lo tau setelah budaya lo mau diambil orang, ibarat anak kecil yang punya banyak maenan tapi dianggurin, giliran mau diambil temennya buat dipake, ngamuk.

Kedua, ini sebenarnya yang jangan sampe bener ya, Pengalihan Isu. Udah bukan barang baru lagi kalo yang namanya pengalihan isu ada, ya kita tau lah isu yang lagi anget sebelum berita ini itu isu apa. Partai yang satu itu tuh, kan kadernya lagi banyak kena kasus. Belum lagi DPT pilkada RT sebelah yang belum beres-beres juga, padahal udh deket mau pemilihan ketua RT. Kalo bener ya, Astagfirullahaladzim, amit-amit dah, mohon dengan sangat ya, masyarakat itu butuh berita yang berimbang, bukan yang itu-itu aja, mending kalo yang itu-itu aja nya berita bagus, nih berita jelek, diputer terus (kaya tipi “you know who” yang itu tuh) atau mungkin prinsip media massa emang beda kali yah “good news is a bad news, and bad news is a good news”.

Ketiga, yah ini termasuk nyindir gue juga sih, Malaysia mau lestarikan Tari Tor-Tor karena itu mereka anggap berharga, Kita? Gue tanya sekarang sama diri gue sendiri dan kita orang-orang Indonesia, lebih suka mana? Nonton Tari Tradisional apa nonton konser orang luar? lebih suka mana Tari Tradisional, atau nari-nari ala LMFAO atau boyband-boyband gitu? Jujur aja, gue lebih suka dengerin musik atau grup band luar, gue gak mau ah kaya pahlawan kesiangan marah-marah. Kita udah terlalu sibuk dengan korupsi dan gempuran budaya asing, sampai-sampai budaya sendiri ditinggalin. Padahal yah, sepengetahuan gue, orang luar itu suka banget sama budaya kita, temen gue perform tari tradisional di Eropa. TARI TRADISIONAL dan banyak yang nonton. Pikir gue ya, udahlah introspeksi diri sendiri (gue juga, harus malah) kenapa hal-hal kayak gini terus-terus kejadian. Budaya diklaim orang, oke marah wajar, tapi tindakan kita apa. Mudah-mudahan kita (gue khususnya) bisa introspeksi dan berbuat lebih banyak buat Tanah Air kita ini. Indonesia.
Info tambahan

Sunday, June 3, 2012

Pak Tua

Entah sudah berapa lama kau bertahan dengan nasibmu pak tua
mungkin lebih lama dari umurku yang belum kepala tiga ini
Entah sudah berapa puluh kali juga petugas Pilkada datang ke gubuk kecilmu
menanyakan
"ada berapa kepala yang pantas menjadi pemilih?"
Kau jawab
" Tak ada, cuma satu, si tua renta ini"
Anak dan Istrimu entah dimana

Entah sudah berapa puluh kali juga
Para calon kepala daerah itu
datang kepadamu dengan janji-janji
menanyakan berapa penghasilanmu sehari-hari
lalu kemudian menanyakan harapan-harapan
kepada kota yang telah kau tinggali
lebih dari separuh masa hidupmu

sabar pak tua
kita tahu Tuhan tak mengubah nasib hambaNya kecuali
hamba itu sendiri yang mengubahnya

maka sudah sepantasnya lah kita
tidak berharap
pada mereka manusia
yang datang dengan janji