Tuesday, August 20, 2013

Boen Tek Bio, Satu Gerbang Sejarah Kota Tangerang

Sekilas, tidak ada yang berbeda dari Pasar Lama di Kota Tangerang dengan pasar-pasar tradisional lainnya: kesibukan para pedagang yang bernegosiasi dengan para pembeli, berpadu padan dengan lalu-lalang kendaraan yang tersendat karena macet.

Tetapi di antara riuh dan klisenya pemandangan Pasar Lama, ada bangunan yang menjadi salah satu pintu sejarah Tangerang. Terhimpit di gang sempit, di antara rumah-rumah tua dan aktivitas pasar, tepatnya di Jalan Bhakti No. 14, klenteng Boen Tek Bio masih tegap berdiri kendati usianya sudah 300 tahun lebih. Boen Tek Bio, adalah klenteng tertua di Tangerang.

Saya mengunjungi klenteng yang diperkirakan dibangun pada 1684 itu tiga tahun lalu. Bau Hio yang menyengat dari orang-orang yang khusyu bersembahyang, lalu-lalang para pengunjung, dan patung singa (Cioh Sai) adalah bagian dari Boen Tek Bio yang pertama kali menyambut saya saat itu. 

Beberapa orang tua sedang duduk di sisi kiri klenteng di bawah sebuah bangunan yang saya perkirakan sebuah pos. Mereka mengobrol sambil asyik mendengarkan lantuntan lagu berbahasa Tiongkok.

Di depan klenteng, sejumlah pedagang sibuk menjajakan kuliner khas Tangerang, yang sebagian besar kuliner perakanakan Tiongkok antara lain dodol Cina dan Laksa.Kesemua itu membuat sebutan Pecinaan-nya Tangerang yang tersemat pada daerah Pasar Lama tepat.

***
Oey Tjin Eng sedang berada di dalam klenteng ketika saya masuk. Dia adalah rujukan bagi siapapun yang ingin bertanya soal sejarah Boen Tek Bio. Saya menemui Oey setelah mendapat informasi dari orang-orang yang saya temui tadi di pintu masuk.

Oey menjelaskan, pembangunan klenteng tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang yang terbagi menjadi dua gelombang.

Gelombang pertama tercatat dalam sebuah kitab sejarah Sunda bernama Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan). Dikisahkan, rombongan Tjan Tjie Lung (Halung) yang hendak pergi ke Jayakarta terdampar dan mengalami kerusakan perahu di Teluk Naga tepatnya di muara sungai Cisadane tahun 1407.

"Rombongan itu semula ingin ke Jayakarta. Namun terdampar dan kapal mereka juga rusak. Di saat yang sama, mereka membawa sembilan orang gadis cantik yang akhirnya disunting oleh prajurit Sanghyang Anggalarang dengan kompensasi sebidang tanah," ujar Oey.Sementara itu, para laki-laki dalam rombongan itu akhirnya menikah dengan penduduk setempat dan memunculkan istilah peranakan Tionghoa. Oey lebih suka menyebutnya sebagai integrasi.

Selanjutnya tutur Oey, peranakan ini kemudian membuka lahan baru di Desa Pangkalan, Teluk Naga. Di sana, mereka mengaku sebagai Tang Lang atau Tang Ren yang berarti orang dinasti Tang.

Saya kemudian berkata kepada Oey mungkin dari sini lah asal usul nama Tangerang.

"Mungkin saja, namun itu butuh penelitian lebih lanjut," kata Oey.

Dari Desa Pangkalan, mereka kemudian membuka lahan di daerah Pasar Lama, Pasar Baru dan Serpong. Oey melihat hal ini dari adanya tiga klenteng tertua di daerah tersebut. "Klenteng-klenteng itu adalah Boen Tek Bio di Pasar Lama, Boen San Bio di Pasar Baru, dan Boen Hay Bio di daerah Serpong," kata Oey.

Dirinya juga mengungkapkan, pada tahun 1513 menurut sejarawan asal Portugis, Tom Pires, sudah ada komunitas Tionghoa di Tangerang, jauh sebelum Belanda datang. Ketiga klenteng ini kata Oey memiliki makna, kebajikannya setinggi gunung dan seluas lautan.

Ahli Sinologi dari Universitas Indonesia, Agni Malagina seperti dikutip Kompas.com dari Majalah National Geographic Indonesia punya penjelasan soal tiga klenteng ini. Menurutnya, pembangunan ketiga klenteng ini tak terlepas dari ilmu fengshui.

"Tiga klenteng itu membentuk satu garis lurus," katanya. "Saya sudah membuktikannya."Jika tiga klenteng—Boen San Bio, Boen Tek Bio, Boen Hay Bio—dihubungkan dengan garis imajiner, terbentuklah satu garis lurus yang rentang jaraknya sekitar 16 kilometer.

"Boen San Bio melambangkan gunung, Boen Hay Bio melambangkan laut," ujarnya. "Nah, [di tengah-tengah] Boen Tek Bio adalah naganya."

Gelombang kedua kedatangan masyarakat Tionghoa ke Tangerang terjadi pada tahun 1740. Saat itu, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Adrian Valckenier, berlangsung pembantaian terhadap warga Tionghoa yang berada di Batavia. Akibat pembantaian itu, warga Tionghoa melarikan diri ke beberapa daerah termasuk daerah Tangerang diantaranya ke Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Pinang dan disekitar Tegal Pasir yang kini bernama Kali Pasir.

Bukti sejarah ini kata Oey, meluruskan beberapa pandangan masyarakat yang menganggap warga Tiong Hoa adalah warga pendatang di Tangerang. “Yang membuka lahan di Tangerang ini sebenarnya orang-orang Tionghoa juga. Kan awalnya dari kapal Tjan Tjie Lung itu,” papar pria yang sudah 12 tahun menjadi pengurus klenteng Boen Tek Bio.

***

Boen berarti intelektual, Tek berarti kebajikan, dan Bio berarti klenteng kata Oey menerangkan soal arti nama Boen Tek Bio. Dalam sejarahnya, klenteng ini beberapa kali mengalami perbaikan. Perbaikan pertama terjadi pada tahun 1844. Saat itu, ruang tengah klenteng yang mendapat giliran. Selanjutnya, perbaikan kembali dilakukan, kali ini pada bagian kiri dan kanan klenteng. yang berlangsung pada tahun 1975. Dan terakhir, di tahun 1904, perbaikan dilakukan pada bagian depan klenteng.

“Perbaikan itu mendatangkan langsung ahli dari Tiongkok, dan sewaktu perbaikan, barang-barang seperti patung dipindahkan ke Boen San Bio. Di tahun 1856 juga sempat diadakan arak-arakan Toe Pek Kong yang pertama di Tangerang. Tujuannya untuk menolak bala dan agar warga Tangerang selalu sejahtera,” ujar Oey.

Warna merah sangat mendominasi klenteng. Itu memang sudah menjadi ciri khas klenteng sejak dari dulu. Selain warna merah, warna lain yang selalu digunakan dalam kelenteng adalah warna putih, hitam kuning, dan hijau. “Kalau tidak ada hijau, biru juga bisa,”  ujar Oey.

Ada semacam tata cara bagi para pengunjung yang untuk menelusuri klenteng ini.

Pengunjung yang akan beribadah, harus masuk melalui pintu yang bernama Pintu Kesusilaan sebelum akhirnya keluar melalui Pintu Kebenaran. Penerapan seperti ini bukan tanpa makna apapun. “Seseorang yang mengerti akan makna kesusilaan baru mengerti jalan kebenaran,” kata pria yang sudah 12 tahun menjadi pengurus kelenteng Boen Tek Bio.

“Setiap klenteng selalu memiliki tuan rumah. Dewi Kwan Im adalah tuan rumah di sini,” Oey menjelaskan. Maksud dari adanya patung Dewi Kwan Im di sini adalah agar umat yang datang beribadah ke Boen Tek Bio, bisa mengambil contoh dari perilaku dewi yang terkenal dengan sebutan dewi welas asih itu.

“Kalau ada yang menyebut kami menyembah berhala, sebenarnya keliru. Itu hanya simbolis bagaimana kita bisa seperti dia. Seperti di gereja, ada Yesus Kristus dan tanda salib. Mereka kan  orang-orang yang pernah berjasa kepada umat manusia,” kata Oey menerangkan. 

Selain patung Dewi Kwan Im, banyak sekali benda-benda tua di kelenteng Boen Tek Bio.  Salah satunya adalah sebuah genta atau lonceng besar yang dibuat di Tiongkok oleh perusahaan pengecoran Ban Coan Lou pada tahun ke-15 periode To Kong It Bi (1835). Di badan lonceng ini terdapat tulisan hong tiau I sun kok thai bin an yang memiliki arti, semoga cuaca baik dan menguntungkan bagi tanaman di sawah ladang, semoga negara damai dan sejahtera. Di halaman depan kelenteng terdapat Thian Shin Lou atau Thian Gong Lou yang disumbangkan oleh Oei Goat Hoa pada tahun ke-19 periode To Kong Ki Hai (1839). Benda ini berfungsi sebagai tempat menancapkan hio untuk Tuhan Yang Maha Esa.

Sayangnya, meski sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya, perhatian pemerintah setempat dinilai masih minim.

“Kita swadaya mengelola kelenteng ini,” kata Oey.

Puas mendapat informasi soal klenteng ini, saya berpamitan kepada Oey. Sebelum itu, Oey memberikan saya buku soal Boen Tek Bio. 

Berkaca pada apa yang disampaikan Oey, Boen Tek Bio bisa jadi salah satu gerbang untuk masuk ke sejarah Kota Tangerang. Kota yang kini menjadi salah satu kota satelit penyangga ibukota Jakarta. Kota yang kini ramai dengan para penduduk dari berbagai macam ras, suku, dan agama. Yang hidup dengan statusnya sebagai Kota Industri.


No comments:

Post a Comment