Friday, January 18, 2013

Ngaca di Banjir

Sumber gambar: Google
Banjir yang melanda di Jakarta sudah sangat parah. Banyak wilayah ibukota sudah mulai 'tenggelam' oleh ganasnya air bah. Banjir sebenarnya bukan perkara baru buat ibukota. Dari jaman baheula, permasalahan ini sudah ada.

Dulu, penjajah Belanda menanggulangi masalah ini dengan membuat banyak kanal dan bendungan. Hal ini tidak terlepas dari desain Jakarta (Batavia pada waktu itu) yang memang meniru desain kota Amsterdam yang  terletak dibawah laut. Pada era modern, hal serupa coba diterapkan dengan pembangunan Banjir Kanal Timur dan berbagai solusi baru.Tapi tetap saja, banjir belum dapat ditanggulangi dengan maksimal.

Pemindahan ibukota menjadi solusi yang kembali mengapung bersama banjir 2013 kali ini. Wacana pemindahan ibukota sebenarnya bukan hal yang baru muncul sekarang.Dulu, Belanda mewacanakan Bandung, Presiden Soekarno memilih Palangkaraya, dan Soeharto mengiginkan Jonggol sebagai ibukota baru.

Kalau sudah mendesak, sebenarnya sah-sah saja memindahkan ibukota ke lain tempat. Namun sebelum melakukan hal itu, ada baiknya coba berkaca diri dahulu lah. Lho kok gitu? Lah iya, Yuk berandai-andai, ibukota dipindahkan ke suatu tempat yang bersih, aman dan nyaman. Pokoknya cozy deh untuk jadi ibukota.

Ada gula ada semut, gak mungkin dong ibukota udah pindah, tapi masyarakat gak pindah. Kalau masyarakat yang pindah itu mau menjaga kebersihan, tertib, dan sadar diri sih mboten nopo-nopo. Tapi kalau yang pindah masyarakat yang gak peduli lingkungan, suka akan kesemerawutan dan lupa diri. Yah sarua keneh atuh. Akhirnya? yah tebak sendiri deh.

Pindahin ibukota, boleh. Bangun banjir kanal, boleh. Revitalisasi DAS, boleh. Berkaca di air keruh, boleh banget. Yah kali aja, keruhnya air sama keruhnya kaya tingkah laku kita.

No comments:

Post a Comment